Satu Malam Adalah Hadiah Paling Berharga

Menemani ibu operasi di rumah sakit untuk beberapa hari bikin aku benar-benar bersyukur betapa beruntungnya aku yang masih sehat, aku benar-benar gak tau apa aja  yang akan orang rasakan saat ada di sana sebagai seorang pengunjung bukan seoarng pasien.

Sejak jam 4 sore sampai jam setengah lima subuh aku ada di depan ruangan  tunggu operasi di rumah sakit, menemani ibu aku yang sedang menjalani operasi pengangkatan kista.

Satu malam yang memberikan aku hadiah yang luar biasa, yaitu adalah rasa syukur akan kesehatan.

Walaupun sebenarnya aku gak tau penyakit besar yang sedang tertidur dalam diri aku, mungkin besok aku yang akan jadi pasien tapi aku sangat berdoa semoga jangan.

Suasana ini pasti berbeda jika aku ada di tenagh bioskop atau tempat hiburan, disana ada banyak tawa, canda, gurauan, badan yang tegak, baju yang bagus, muka yang cerah dengan make up, ramai dengan tawa dan canda. Di sini di ruang tunggu operasi bisa jadi jauh berbeda.

Ibu ku masuk dengan beberap pasien yang lain , ada yang usus buntu adalah seoarng anak laki-laki bertubuh tinggi besar yang mengaduh kesakitan di sepanjang perjalanan menuju ruang operasi di atas kursi rodanya, seorang wanita dengan miomnya dll.

Di depan ruang tunggu operasi beberapa saat keluar seorang wanita lalu bayinya, dia baru saja melakukan operasi sesar, begitu terus sampai beberapa ibu keluar setelah melakukan operasi sesar, ada yang langsung ke rawat inap biasa ada yang harus masuk ruang ICU terlebih dahulu setelah opearsinya selesai, aku mendengar riuh gembira keluarga pasien , kata seorang perempuan muda setelah seorang pasien keluar dari ruang opearsi ‘’ yaeh..sudah jadi ibu….selamat ‘’ di sudaut sana ada tangis seorang ayah yang bertubuh tunggi besar, air matanya mengalir begitu juga dengan sang istri..ntah apa yang mereka bicarakan tapi yang pasti mereka menangis untuk anak mereka yang sedang di dalam ruang operasi , aku teringan di lift mereka bilang ‘’ ayo…kamu pasti kuat ya…nanti sekolah lagi..’’ begitu kata sang ibu kepada anaknya yang merintih karena sakit usus buntu. Betapa berharganya waktu sekolah bagi mereka yang sedang sakit. Tapi pada akhirnya sang anak keluar dari ruangan operasi, dia tetap terlihat menangis dan lemas tapi kondisinya tidak harus masuk ruangan ICU.

Aku terus menunggu sampai tengah malam, mungkin sekitar jam 11 malam , belum juga ibuku keluar dari ruangan operasi, saat itu batre hp aku sdh sekarat, ada dua temapt colok listrik satu dipakai charging Hp orang lalu aku beralih ke tempat yang satu lagi, belum beruntung karena sama aja , juga sedang di pakai, aku bertanya apakah aku bisa memakainya sebentar tapi si pemakai bilang saya juga baru pakai, aku pergi sambil kembali ke tempat charger yang satu lagi (ya Tuhan kenapa aku bisa lupa banget gak bawa poewer bank ) aku pikir hp ini sdh dari tadi di charger jadi mungkin bisa gentian, ada laki2 dan perempuan di ujung sana sedang makan di atas selimut atau karpet , aku bilang “ pak ini Hp bapak ? boleh nyelak listriknya sebentar soalnya hp saya sekarat banget “ kata si laki2 ‘’ oh iya gak apa colokin aja ‘’ tp sepertinya si perempuan agak gak terima ‘’ mamang yabg di selahnya gak bisa mba? Itu juga kita baru charger ‘’ ( dalam hati sue… knp aku harus mengemis seperti ini ) aku jawan santauy ‘’ iya gak bisa soalnya lagi dipakai juga ‘’ aku watados aja langsung aku pakai untuk charging Hp aku. Beberapa waktu kemudian terdengar suara laki-laki menangis, kita (aku dan si perempuan itu )sama-sama penasaran dan menengok apa yang sedang terjadi, di susdut sana seorang laki-laki menangis di depan ruangan ICU ntah siapa yang sudah tiada, dia berteriak walaupun sepertinya dia sudah menahan rasa sedihnya, dia sudah menahan teriakan sedihnya tapi teriakan itu masih tetap keluar tak tertahankan, dia menangis mengusap wajahnya, seseorang memeluk pundaknya dan berusaha menenangkannya.

Perempuan itu, ntah bagaiman dia bercerita tentang kekhawatiranya , bagaimana kalau dia di posisi si laki-laki itu , betapa sedihnya itu tidak terbayangkan terbayangkan, begitu juga dengan aku yang juga sedang menunggu keluarga yang sedang di rawat. Entah bagaiman ceritanya kita jadi akrab, dia membiarkan aku duduk di karpetnya , dia memberikan aku aqua gelas, dia bercerita tentang ayahnya, ayahnya di operasi, tengkorak kepalanya di buka,ada pembuluh darah yang pecah di bagian kepala saat ayahnya terjatuh dari motor, kecelakaan tunggal buka tabrakan, karena kaget ada motor dari lawan arah kedua motor mengerem mendadak, kedua motor terjatuh dan kepala si ayah terbentur , ada pembuluh darah yang pecah di bagian kepala, saat di bawa ke RS darah dalam kepala masih belum begitu banyak, menunggu proses alur operasi darah yang terjadi di dalam kepalanya semakin banyak, sekarang ayahnya di ruang ICU koma, dia bercerta betapa dia tidak tega dengan kondisi ayahnya, sudah satu minggu dia disana, tapi kondisi ayahnya belum juga membaik. Namanya ternyata puput (nama samara), lalu apa yang aku bicarakan dengannya ? tentang beberapa pertanyaan yang ada dalam pikiran aku, aku tak memberitahunya itu membebani aku bahkan sedikit menyakitkan. Sarannya benar-benar luar biasa, umurnya satu tahun lebih muda dari pada aku, dia sudah menikah selama 2 tahun tp masih menunggu untuk mendapatkan bayi mereka. Kami banyak berbicara, aku banyak membuang cerita sampah padanya, tapi gak sampah banget sih. Hanya butuh waktu satu jam , awal kita memanggil aku kamu mbanya, lalu kita pakai lo gue untuk memanggil masing-masing . ‘’ setiap orang sudah punya jalannya masing2, kata suami aku bersyukur,..bersyukur ’’. setelah beberapa lama kita tau laki-laki tadi kehilangan anaknya yang baru berumur 3 tahun , lalu aku teringat dia adalah orang di depan ruang rawat inap kamu yang berteriak teriak anaknya kejang kejang sebelum akhirnya di pindahkan ke ruangan ICU, sayangnya sang anak tidak berunur panjang.  kluarnya ibu aku dari ruangan operasi memisahkan kami setelah  aku tidur di karpet selimutnya ada di sampingnya, aku harus turun mengurus perpindahan ruangan ibu aku.

Keesokan paginya aku masuk ruangan ICU, bertemu ibu aku dia masih terlihat sangat kesakitan dan lemah, di sampinynya seorang wanita paruh baya penderita pembengkakan jantung, kakaknya sudah sempat mengobrol dengan aku di depan ruangan ICU, banyak keluhan dari kakaknya berharap sang adik masih punya umur yang panjang, banyak alat yang menempel tubuhnya, masih tersisa bengkak di tangannya walaupun itu tandanya bengkak di badanya sudah mulai membaik karena sebelumnya menurut kakaknya hamper seluruh tubuhnya membengkak. Di samping tempat tidur si ibu penderita pembengkakan jantung ada ayah puput (nama samara) perban di kepalanya, napas yang terengah-engah-banyka alat yang menempel pada tubuhnya, mata yang tertutup, iya itu pasti ayah puput pasien operasi tengkorak kepala akibat pecahnya pembuluh darah di kepala. Untuk beberapa saat aku melihat setiap monitor di atas kepala masing-masing pasien, mencoba untuk mengerti tapi sia-sia , apa ini? Apa artinya ?

Saat siang aku melihat puput merawat ayahnya , entah apa yang dia lakukan, dia seperti mengganti alat atau membersingkan kantong pembuangan air, dia menangis, sesekali mengelap air matanya, aku gak menyapanya, aku gak mau memperkeruh keadaan, aku Cuma liat dia dari jarak 1,5 meter, dia datang bertanya pada suster dengan mata yang merah, tapi aku gak bisa datang datang merangkulnya, knp ? aku juga gak tau. Sore hari aku ketemu dia di tangga membawa kotak termos obat-obatan dia bertanya gimana kedaan ibu aku, aku menjawab malam ini kan dipindahkan ke rawat inap biasa, dia bilang syukurlah tapi ayahnya belum ada kemajuan, aku menepuk pundaknya, yang tegar yah kata aku sama dia sebelum kita berlaku dia naik ke atas aku turun ke bawah.

Satu malam itu , di depan ruangan operasi rasanya aku seperti pohon yang masih berdiri, dan melihat beberapa pohon di sekira aku tumbang.

Aku gak pernah nginep di Rumah sakit sebagai pasien, gak pernah, gak pernah ada jarum impus yang menyakiti badan aku, aku bersukur kalau aku ingat ada jarum besar menumbus kulit ibu aku sampai berdarah. Aku gak pernah suka melihat darah, gak pernah. Walaupun aku gak tahu penyakit besar apa yang sedang tertidur dalam tubuh aku, tapi yang pasti gak ada orang yang ingin jadi pasien di rumah sakit.

Berjalan di sudut ruangan ICU, banyak suara bayi menangis, kulitnya masih sangat merah.  Di waktu yang lain aku berjalan, tidak pernah sepi dari tangisan bayi, seorang suster menggendong seorang bayi dengan mudahnya tidak ada rasa canggung dan takut bagi si suster, bayi itu diam, sepertinya tenang. Ah sial pikiran apa ini , bagaimana jika aku tidak punya anak? Siapa yang akan merawat aku di masa tua, Tuhan jika aku tidak punya anak sampai aku mati. Semoga saja kematian aku di mudahkan, tidak merepotkan orang lain. Ah sial pikiran apa ini ?

4 Comments

Leave a comment